BATURAGUNG (01/09) Tahun Baru Islam 1 Muharram 1441 H sudah datang, seperti tradisi tiap tahunnya di musholla-musholla ada tradisi mapak tahun. Yaitu tradisi menyambut datangnya tahun baru hijriah dalam bahasa jawanya disebut 1 suro.
Di Musholla Darul Hikam ini, yang bertempat di Desa Baturagung RT 02 RW 01 menyambut tahun baru islam dengan Jenang.
Jenang adalah makanan khas penduduk Jawa yang terbuat dari beras putih dan beras ketan, kerap hadir sebagai makanan pelengkap di berbagai acara seperti hajatan pernikahan, selamatan ibu hamil, selamatan bayi yang baru lahir, selamatan orang meninggal dan masih banyak lagi berbagai acara adat maupun keagamaan.
Segala macam acara tersebut tidak pernah lepas dari kehadiran jenang dan makanan ini diyakini muncul dari kreativitas masyarakat setempat.
Jenang ternyata memiliki filosofis dan simbol-simbol yang diyakini oleh orang Jawa. Selain sebagai rasa syukur kepada-Nya, jenang juga dijadikan simbol doa, persatuan, harapan, dan semangat masyarakat Jawa.
Contoh Yang pertama adalah jenang sumsum (Jenang Blowok). Jenang ini terbuat dari beras putih yang dicampur dengan beras ketan sedikit kemudian ditaburi dengan gula merah atau gula putih di atasnya. Selain warnanya yang putih bersih dan diyakini sebagai simbol kebersihan hati dan kesejahteraan.
Jenang abang
Acara-acara seperti penyambutan bulan baru kalender Jawa atau yang disebut dengan “suro” ini sering menghadirkan jenang abang sebagai makanan pelengkap dan menjadi makanan khas yang wajib disajikan. Jenang ini memiliki simbol rasa syukur kepada Tuhan akan datangnya bulan baru dan juga sebagai ungkapan doa ‘penyerahan diri’ kepada Tuhan untuk memohon keselamatan dan keberkahan.
Jenang Cethil
Jenang ini terbuat dari tepung ketan dan dicampur dengan gula merah sehingga memunculkan warna merah kecoklatan. Jenang ini memiliki tekstur kenyal dan berbentuk seperti bola-bola kecil dan dipadukan dengan kuah santan pada penyajiannya. Pada acara-acara formal jenang ini disajikan dan diyakini sebagai simbol keharmonisan hidup yang diwarnai oleh perbedaan. Selain itu, ada nilai eksentris yang terkandung di dalamnya, baik adat maupun budaya. (MAH)